My Spouse Doesn’t Tame Me; We Respect Each Other.

Puti A.
3 min readDec 30, 2020

Aku ingin menjawab pertanyaan kalian, “Kok dia bisa nanganin lo, sih?”

Izumi dan Sig Curtis dari Fullmetal Alchemist: Brotherhood sebagai ilustrasi merangkap couple goals kami

Dear, teman-teman lamaku.

Mungkin kalian bertemu denganku saat usia kita masih belia, lebih dari sepuluh tahun lalu di bangku SMA. Persona diriku yang kukenal selama ini telah berubah-ubah, mulai dari anak perempuan yang bersuara keras, gembira, dan lincah hingga menjadi perempuan dewasa yang tetap bersuara keras, tetapi tak segembira dan selincah dulu.

Yang kalian selalu tahu, aku selalu memiliki pendapat atas sesuatu dan selalu menyuarakan pendapat tersebut. Dan untuk beberapa dari kalian, ini yang membuatku tidak kunjung mendapatkan kekasih.

“Lo tuh kepinteran, sih.”

Ada salah satu dari kalian yang pernah mengatakan hal ini padaku. Lho, memang apa salahnya menjadi perempuan pintar? Kalau ada calon pasangan potensial yang mundur karena aku terlalu pintar, itu berarti mereka tidak layak disebut sebagai calon pasangan potensial.

Lagipula aku yang kerap masih bodoh ini kok dianggap kepinteran.

“Standar lo juga ketinggian. Turunin dikit, kenapa?”

Masalahnya ya, teman-teman sekalian, standarku tinggi karena aku ingin memastikan bahwa aku mendapatkan hal terbaik yang berhak aku dapatkan. Yang mengajarkan hal ini tuh ibuku sendiri, lho. Beliau yang menyuruhku membuat check list kualifikasi pasangan yang ingin aku dapatkan. Kalau terlalu banyak boks check list yang tidak dicentang dalam orang tersebut, ya cari lagi. Sesimpel tapi sesubstansial itu yang diajarkan ibuku. Toh ada milyaran manusia di muka bumi ini, pasti ada orang yang mendekati semua kriteria kita tersebut.

Ternyata ya betul, ada! Aku pun sama terkejutnya dengan kalian.

Di sini sekali lagi aku dan Tommy ingin meluruskan: tidak, Tommy tidak berhasil membuatku ‘menurut’ pada dirinya. Aku bukan kuda liar yang akhirnya bisa dijinakkan, meski sun sign-ku adalah Sagittarius.

Kuncinya ada di konsensus, sinergi, dan mutual respect.

Dalam hubungan ini, tidak ada yang kastanya di atas satu sama lain. Tommy bukan ‘suami takut istri’ dan aku bukan ‘istri penurut’ (kecuali di atas ranjang, hehehe). Tidak ada yang mendikte dalam hubungan kami bahkan sejak awal hubungan pacaran kami. Semuanya selalu didiskusikan: “Aku mau begini nih, kamu gimana?” Dan karena kami banyak sepaham mengenai berbagai hal, konsensus seringkali mudah dicapai. Tapi jangan salah, kami tidak jarang bertengkar juga, lho. Namanya juga manusia. Yang penting, di akhir, konsensus tercapai dengan kompromi dari kedua belah pihak.

Kami berusaha keras untuk mendengarkan kemauan satu sama lain, meski kadang apa yang kami inginkan berbeda-beda. Tapi ya, kami berdua harus selalu berusaha agar keputusan yang dibuat menguntungkan kami berdua, tidak hanya satu pihak. Tidak ada yang boleh memaksakan kehendaknya.

Mungkin kalian mengerutkan dahi dan membatin, “Dalam Islam, suami kan seharusnya menjadi imam dalam rumah tangga! Pemimpin!” Tapi bukankah pemimpin yang baik harus selalu mendengarkan keinginan rakyatnya dan membicarakan semuanya dalam musyawarah? Ini bentuk pengamalannya dalam konteks terkecil dan terdekatnya, lho.

Oh iya, ngga ada kode-kodean juga, ya. Kalau ada yang nggak sreg dengan suatu hal, langsung dikomunikasikan dengan jelas dan baik-baik (meski aku sering sambil nangis juga). Kode-kodean cuma dipakai kalau lagi ada yang ngidam Mekdi.

Nggak, aku nggak akan panggil dia ‘mas’. Toh kita seumuran, dia juga nggak suka dipanggil ‘mas’. Kecuali aku sedang bercanda dan ingin merayu dia, baru dia kupanggil, “ABWAAAAANG SAYAAAAAAAANG.”

Tommy tidak ‘menjinakkan’ aku; dia menghormatiku dan menghargaiku seperti selayaknya. Karena toh, di rumah tangga ini, kami berdua memiliki posisi yang setara. Setidaknya, kami berusaha sekeras mungkin agar relasi kuasa dalam hubungan ini tetap setara.

Kurasa kalian nggak perlu belajar teori feminisma dan teori gender fafifu untuk memahami hal ini.

Jelas, ya, sekarang?

Salam,

Puti, Tommy, dan Tonka.

--

--

Puti A.

Disillusioned and disenchanted. Constantly advocating for good eyebrow pencils and intersectional feminism.