Perempuan: Antara Pendidikan dan Domestifikasi

Puti A.
4 min readApr 1, 2019

“Ngapain kuliah ke Eropa segala? Kamu kan cewek, ngapain sih pake jauh-jauh dari orang tua.”

Sudah lebih dari tujuh tahun lamanya sejak saya mendengar kalimat ini terlontar. Kala itu saya masih kelas 3 SMA, kini saya sudah lulus kuliah. Yang mengucapkan adalah ayah seorang teman yang sewaktu itu saya tebengi untuk berangkat bersama ke sekolah asrama kami yang berlokasi di Pandeglang, Banten.

Saya menjawab, “Oom, yang pertama minta saya sekolah ke luar negeri kan orang tua saya sendiri.” Si Bapak tidak menanggapi selantang sebelumnya, hanya menggumam terbata-bata mengenai kaitan gender saya dan lokasi perguruan tinggi yang seharusnya saya ambil. Si Bapak ini punya empat orang anak, tiga lelaki dan yang bungsu perempuan. Saya terpikir akan si adik bungsu dan membatin, “Dek, semoga nanti bapakmu akan berubah pikiran dan mau melepasmu untuk sekolah yang jauh.”

Waktu itu saya hanya bisa facepalm dalam hati. Mbok ya kalau dilakukan beneran bisa-bisa saya diturunkan di tengah jalan tol Jakarta-Merak, kan horor juga.

Beberapa bulan berselang, saya dan kawan-kawan akhirnya lulus dari jenjang SMA. Seiring saya sudah disibukkan oleh kegiatan persiapan keberangkatan menuju Prancis, ibu saya harus repot-repot bertualang ke Pandeglang untuk mengambilkan ijazah saya. Di kantor guru, Ibu bertemu dengan Bapak Kepala Sekolah dan sedikit mengobrol dengan Beliau. Salah satu ucapan Bapak Kepsek yang diingat ibu saya adalah, “Ibu yakin mau ngelepas anak Ibu ke Prancis? Jauh lho.” Ibu saya langsung membalas, “Ya kan dilepasnya buat belajar, Pak. Emang kesempatannya ada, masak mau dihadang gara-gara jauh doang.”

Berkali-kali saya kembali menemui komentar serupa dari berbagai pihak. Saya melengos menghadapi semuanya. Pernah sekali saya balas, “Lha memangnya karena saya perempuan, saya nggak boleh sekolah ke Eropa?” orang yang perkataannya saya balas langsung berkelit, mengatakan satu hal yang sudah sering kali saya dengar mengiringi komentar di atas: “Kalau kamu jauh-jauh, yang ngurus rumah dan orang tuamu siapa.”

Di tengah masyarakat yang patriarkisnya ampun-ampunan seperti Indonesia, berbagai tanggung jawab domestik pastinya dibebankan ke pundak para perempuannya. Rumah berantakan? Salahkan anak perempuannya. Sering beli makan di luar? Ini pasti ibunya tidak bisa masak, atau terlalu sibuk kerja sampai makan keluarganya ditelantarkan begitu. Orang tua yang sudah mulai sepuh sendirian di rumah? Kurang ajar, anak perempuannya pasti malah melala enak-enakan hidup sendiri tanpa memikirkan mereka. Jarang sekali ‘kelalaian-kelalaian’ di atas dibebankan pada pundak anak lelaki atau ayah, jika dalam keluarga tersebut ada anak lelaki atau ada ayahnya.

Sedari usia Sekolah Dasar, ibu saya sudah mengajarkan saya untuk terlibat di dapur, mulai dari membantu mengupas bawang, cuci piring, hingga akhirnya memasak makanan berat sendiri. Sungguh kontras dengan seorang teman lelaki yang bahkan hingga usia 26 tahun ini selalu ditolak keberadaannya di dapur oleh mamanya. “Kamu nggak usah ikut-ikutan di dapur, ini bukan tempatnya anak laki-laki,” begitu kata sang mama. Padahal dapur seharusnya terbuka untuk semua orang karena di situ lah makanan matang tiap rumah bersumber. Sebagai konsekuensinya, si teman saya ini kelabakan ketika harus merantau ke Eropa, seringkali memilih untuk kelaparan atau membeli makanan jadi yang lebih mahal dibanding memasak karena toh hasil masakannya belum tentu layak makan. Bahkan untuk cara cuci piring yang baik dan benar saja harus saya tatar sesorean.

Gara-gara paham patriarkis ini pula perempuan Indonesia seringkali dihalang-halangi dari akses pendidikan. Jangankan ke sekolah atau kampus yang bagus, untuk menamatkan pendidikan dasar hingga SMA saja banyak yang menjegal. Masih banyak orang, terutama dari kalangan menengah ke bawah, yang berpendapat bahwa perempuan itu ranahnya di dapur-sumur-kasur sehingga tidak perlu punya pendidikan setinggi langit. Yang berasal dari kalangan menengah ke atas dan harusnya paham akan pentingnya akses pendidikan pun masih banyak yang menyimpan pendapat serupa. Untuk apa susah-susah mengejar kampus yang bagus kalau nantinya bakal jadi ibu rumah tangga juga? Untuk apa punya karir tinggi-tinggi, tidak mau menuruti kodrat untuk mengurus suami, anak-anak, dan orang tua?

Banyak orang jelas sepakat pada anggapan bahwa tugas rumah tangga sudah selayaknya dibagi rata di antara seluruh penghuni rumah, tidak peduli apapun jenis kelamin maupun gendernya. Pada praktiknya, masih banyak anak laki-laki yang kerjaannya ongkang-ongkang kaki di rumah sementara saudari-saudarinya mondar-mandir bebersih. Masih banyak anak-anak perempuan yang dibatasi ruang gerak pendidikannya dengan alasan jarak dari orangtua.

Memperlakukan anak perempuan dan lelaki dengan setara — dimulai dari pembagian tugas di rumah hingga pada pemberian kesempatan pendidikan — dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia secara signifikan, dan nantinya pasti akan berpengaruh ke peningkatan kesejahteraan rakyat. Sayangnya, masih banyak orang di negeri ini yang terjebak dalam pola pikir yang sama: perempuan lebih baik diam di rumah saja, tidak perlu sekolah.

--

--

Puti A.

Disillusioned and disenchanted. Constantly advocating for good eyebrow pencils and intersectional feminism.